Berita Pendidikan
Sarana Pendidikan: Sekolah Inklusi Minim Fasilitas
Sekolah-sekolah inklusi umumnya belum dilengkapi fasilitas peraga yang memadai untuk siswa berkebutuhan khusus. Guru-guru yang mengajar siswa berkebutuhan khusus juga belum dipersiapkan, kecuali beberapa guru dari sekolah luar biasa yang diperbantukan.
Hal ini terungkap dalam kunjungan Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh ke sejumlah sekolah inklusi di Surabaya, Jawa Timur, Senin (16/11). Saat ini di Indonesia terdapat sekitar 1.450 sekolah luar biasa (SLB) dan hanya 400 yang negeri. Selain itu, sebanyak 800 sekolah sudah menjadi sekolah inklusi.
Mendiknas sempat meninjau SD Negeri Klampis Ngasem, Surabaya. Dari 639 siswa SDN Klampis Ngasem, sebanyak 165 siswa di antaranya berkebutuhan khusus. Siswa berkebutuhan khusus terbanyak adalah yang berkategori lambat berpikir (slow learner), autis, tunarungu, dan hiperaktif. Selain itu, terdapat seorang siswa tunanetra dan empat siswa tunadaksa.
Di SDN Klampis Ngasem, dari 40 guru, hanya delapan yang berstatus pegawai negeri sipil. Sebagian besar guru pendamping siswa difabel berstatus honorer yang honornya dibebankan kepada orangtua siswa. Adapun di SD Negeri Kutisari II Surabaya belum ada guru yang khusus dibekali untuk mengajar siswa difabel. Mendiknas juga sempat meninjau SLB Karya Mulia.
Koordinator Inklusi SDN Klampis Ngasem Dadang Bagus menambahkan, kendati sekolah ini menerima siswa dari semua jenis cacat, fasilitasnya tidak ada. Alat untuk terapi, alat bantu dengar, peraga, dan bahan ajar berhuruf braille belum ada, demikian pula kurikulum dan metode ajar. Karena itu, semua diadaptasi dari kurikulum yang ada.
BOS dinaikkan
Seusai kunjungan tersebut, Mendiknas menjanjikan akan menaikkan jatah bantuan operasional sekolah (BOS) untuk siswa berkebutuhan khusus.
Pemerhati masalah difabel, Bahrul Fuad, menilai, saat ini pendidikan inklusi yang sudah dimulai sejak 2007 masih sebatas pelaksanaan proyek. Oleh karena itu, persiapan untuk menerima siswa berkebutuhan khusus oleh sekolah, guru, ataupun siswa lain sangat minim.
Menurut Bahrul, guru-guru dan siswa perlu dikondisikan sebelum pendidikan inklusi diterapkan. Siswa, misalnya, perlu mengetahui cara melihat teman-temannya yang tunanetra dan cara berkomunikasi dengan teman yang tunarungu. Ruang kelas, akses sekolah, ataupun peralatan belajar-mengajar juga perlu disiapkan. Pelatihan untuk guru-guru sangat diperlukan, misalnya, melalui kerja sama dengan SLB.
Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Suwanto mengatakan, di Jatim terdapat 388 SLB dengan jumlah siswa 13.159 orang. Selain itu, terdapat 93 sekolah inklusi dengan siswa berkebutuhan khusus 1.476 anak.
Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Surabaya Eko Prasetyoningsih mengatakan, pelatihan untuk guru-guru di sekolah inklusi dimulai pada 2010. Pelatihan ini akan melibatkan pakar pendidikan luar biasa dan aktivis difabel. (INA)
Sumber: Kompas Cetak (kompas.com)
Hal ini terungkap dalam kunjungan Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh ke sejumlah sekolah inklusi di Surabaya, Jawa Timur, Senin (16/11). Saat ini di Indonesia terdapat sekitar 1.450 sekolah luar biasa (SLB) dan hanya 400 yang negeri. Selain itu, sebanyak 800 sekolah sudah menjadi sekolah inklusi.
Mendiknas sempat meninjau SD Negeri Klampis Ngasem, Surabaya. Dari 639 siswa SDN Klampis Ngasem, sebanyak 165 siswa di antaranya berkebutuhan khusus. Siswa berkebutuhan khusus terbanyak adalah yang berkategori lambat berpikir (slow learner), autis, tunarungu, dan hiperaktif. Selain itu, terdapat seorang siswa tunanetra dan empat siswa tunadaksa.
Di SDN Klampis Ngasem, dari 40 guru, hanya delapan yang berstatus pegawai negeri sipil. Sebagian besar guru pendamping siswa difabel berstatus honorer yang honornya dibebankan kepada orangtua siswa. Adapun di SD Negeri Kutisari II Surabaya belum ada guru yang khusus dibekali untuk mengajar siswa difabel. Mendiknas juga sempat meninjau SLB Karya Mulia.
Koordinator Inklusi SDN Klampis Ngasem Dadang Bagus menambahkan, kendati sekolah ini menerima siswa dari semua jenis cacat, fasilitasnya tidak ada. Alat untuk terapi, alat bantu dengar, peraga, dan bahan ajar berhuruf braille belum ada, demikian pula kurikulum dan metode ajar. Karena itu, semua diadaptasi dari kurikulum yang ada.
BOS dinaikkan
Seusai kunjungan tersebut, Mendiknas menjanjikan akan menaikkan jatah bantuan operasional sekolah (BOS) untuk siswa berkebutuhan khusus.
Pemerhati masalah difabel, Bahrul Fuad, menilai, saat ini pendidikan inklusi yang sudah dimulai sejak 2007 masih sebatas pelaksanaan proyek. Oleh karena itu, persiapan untuk menerima siswa berkebutuhan khusus oleh sekolah, guru, ataupun siswa lain sangat minim.
Menurut Bahrul, guru-guru dan siswa perlu dikondisikan sebelum pendidikan inklusi diterapkan. Siswa, misalnya, perlu mengetahui cara melihat teman-temannya yang tunanetra dan cara berkomunikasi dengan teman yang tunarungu. Ruang kelas, akses sekolah, ataupun peralatan belajar-mengajar juga perlu disiapkan. Pelatihan untuk guru-guru sangat diperlukan, misalnya, melalui kerja sama dengan SLB.
Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Suwanto mengatakan, di Jatim terdapat 388 SLB dengan jumlah siswa 13.159 orang. Selain itu, terdapat 93 sekolah inklusi dengan siswa berkebutuhan khusus 1.476 anak.
Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Surabaya Eko Prasetyoningsih mengatakan, pelatihan untuk guru-guru di sekolah inklusi dimulai pada 2010. Pelatihan ini akan melibatkan pakar pendidikan luar biasa dan aktivis difabel. (INA)
Sumber: Kompas Cetak (kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar