Jumat, 26 Juli 2013

Kenangan Waktu Kelas 7

Hai semuanya, Saya mau sediki cerita - cerita ya waktu kelas 7 SMP. Diawali  dari MOS angkatan 3 SMP ACM. Waktu itu, aku masih terlalu dekat sama Hanna. Soalnya sama yang lainnya kurang dekat. Istilahnya belum terlalu dekat karena masih proses adaptasi. Aku cuma liatin doang. Kagak nge cibir apalagi ketawa sendiri. Kemudian hari keduanya aku baru kenal sama yang namanya Aniel. Kebetulan dia dikenalin sama wali kelas aku, Bu Vira. Ha....ha....bu, aku kangeeeeeeeennnnnn......!!! Kemudian setelah aku kenalan sama Aniel, aku jadi dekat dan lama kelamaan makin dekat. Saat MOS, aku sama Hanna ngobrol pengalaman liburan. Aku belum bisa ngobrol sama yang lain dikarenakan itu tadi, kurang dekat. Kemudian, ada lagi pengalaman lagi saat kelas 7. Aku main perang air. HA...HA...HA... itu kebayang banget pake air buat pelihara cupang yang disukai anak - anak sampai dewasa di era 2004 an. Lempar - lempar kesana - sini, sampai baju pun basah banget itu. untuk lebih lengkapnya, aku kasih FACT nya deh:


  1. Masuk SMP tahun 2010
  2. Pertama kali aku kenalan sama Aniel
  3. Wali kelas saat itu adalah Bu Vira
  4. MOS dilakukan kurang lebih sekitar 3 hari
  5. Ekskul yang pertama kali dipilih adalah Basket dan KIR
  6. Baru kenal sama semua murid baru sekitar semingguan
  7. Pertama kali Hanna suka sama Ali sampai farewell
  8. Baju seragam saat itu bukan putih - biru tua, tapi putih - kotak kotak biru tua. itu pun sama seperti seragam SD Sains Al Biruni pada tahun 2010
  9. Waktu itu, aku belum terlalu dekat sama sebagian murid meskipun sudah kenal satu sama lainnya
  10. Saat bulan ramadhan, aku cuma salam - salaman sama guru - guru, teman - teman ABK, sama kedua temanku saja, karena yang lainnya tidak salaman sama aku. Menyedihkan...
  11. Kunjungan saat kelas 7 pada saat itu ke PusPa IpTek, Bioskop di JaToS, Museum Geologi, Taman Lansia, dan gedung teater Rumentang siang
  12. Saat PenSi, tampil bersama yang lainnya dengan membawakan lagu Ceria. Bu Mega, kangeeeeeeeeeeennnnnnnnnn juga......



Itulah sedikit FACT selama kelas 7 SMP.

Kamis, 25 Juli 2013

Kangen Temen - Temen

ha...ha.. ini adalah blog saya yang ke sekian sekian. Hari ini, tepatnya tanggal 25 Juli 2013 ini, Saya ketemu temen saya. W-O-W! kangeeeeeeeeennnnnnnnnn..........!!! ^_^
Pas ketemu, saya nyapa dia "Nur!" Trs dia jawab "Hai." terus, saya langsung tos tangan. Itu saking kangennya, ya. Maklum, Udah lama gak ketemu sama anak - anak. Jadi gitu. Terus Saya ngobrol lamaaaaaa banget ama dia. Abis nya kangen sih. Jadi ngobrolnya agak lama. Ha....ha....ya...ya...ya. Oke, segitu dulu posting dari saya. See you later again...Luv u.

Selasa, 16 Juli 2013

Tentang Sekolah Inklusif ( Part 4 )

SEKOLAH INKLUSI : SOLUSI PENDIDIKAN UNTUK SEMUA


22 March 2011

berpelukan.JPGKehadiran sekolah inklusi merupakan upaya untuk menghapus batas yang selama ini muncul ditengah masyarakat, tidak hanya bagi anak normal dengan anak cacat ( berkebutuhan khusus) akan tetapi juga bagi kalangan mampu dan kaum dhuafa, serta perbedaan yang lainnya. Mereka (anak berkebutuhan khusus) dapat bersekolah dan mendapatkan ijazah layaknya anak normal.  Hal ini seperti yang dibahas diharian suara pembaruan tanggal 28 September 2005.

Hasil survey menunjukkan bahwa jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia meningkat dari 1 : 10.000 , kini menjadi 1 : 1500. Pada saat ini jumlah merekapun terus bertambah, dengan berbagai penyebab, baik semasa dalam kandungan ataupun masa keemasan dalam perkembangan. Menurut Susana Yuli E seorang psikolog anak, bahwa persoalan ini bukan lagi hanya bisa ditangani oleh dokter spesialis anak atau psikiater melainkan juga pihak keluarga dan lembaga-lembaga pendidikan anak autis swasta/pemerintah, seperti sekolah inklusi misalnya. Bagi orang tua yang menyadari sejak dini mereka akan memberikan penanganan sedini mungkin. Permasalahan yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini adalah pada saat mereka (anak berkebutuhan khusus) memasuki usia sekolah, kemana mereka akan menimba ilmu? Maka sekolah luar biasa (SLB) menjadi tempat alternative bagi orang tua untuk menyekolahkan anak mereka dengan berkebutuhan khusus, mereka berada dalam satu lingkungan dan bergaul dengan teman-teman senasib. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa mereka berhak berada di lingkungan pergaulan yang lebih normal dan riil. Hal ini karena berkaitan dengan masa depan yang akan mereka jalani, mereka tidak hanya berkumpul dengan orang-orang berkebutuhan khusus tetapi juga yang lain. Telah terbukti mereka jauh lebih mampu mengembangkan potensi, jika bergaul dengan anak-anak tanpa berkebutuhan khusus. Saat ini para orang tua yang memiliki anak dengan berkebutuhan khusus memperoleh angin segar dengan system sekolah baru. Sekolah inklusi, menjadi sebuah sekolah harapan untuk menumbuh kembangkan anak secara optimal, baik bagi anak dengan maupun tanpa berkebutuhan khusus.

Sekolah inklusi merupakan sekolah reguler yang menyatukan antara anak-anak dengan dan tanpa berkebutuhan khusus untuk mengikuti proses belajar mengajar bersama-sama. Sistem belajar pada sekolah inklusi tidak jauh berbeda dengan sekolah regular pada umumnya. Mereka (para siswa) berada dalam satu kelas yang idealnya dalam satu kelas terdiri dari 1- 6 anak berkebutuhan khusus dengan dua guru dan satu terapis atau shadow teacher  yang bertanggung jawab di bawah koordinasi guru untuk memberi perlakuan khusus kepada anak-anak berkebutuhan khusus, sehingga mereka dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Porsi belajar pada anak berkebutuhan khusus lebih kecil daripada yang ‘normal’. Hal ini tidak bertujuan untuk membatasi, melainkan kebutuhan untuk terapi. Pada waktu-waktu tertentu, bila perlu anak-anak tersebut akan ‘ditarik’ dari kelas reguler dan dibawa ke ruang individu untuk mendapatkan bimbingan khusus.

Pendidikan bukanlah sebuah rutinitas ujian demi ujian tanpa memandang perbedaan kemampuan setiap individu. Inti dari sebuah pendidikan adalah memanusiakan manusia. Demikian pula ketika anak berkebutuhan khusus dihadapkan dengan ujian sebagai hasil evaluasi. Substansi dari pendidikan adalah untuk menjadikan manusia yang seutuhnya, sehingga standart yang ditetapkan adalah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki anak dan bentuk pelaporannya lebih banyak bersifat deskriptif, narasi, maupun portofolio tidak hanya tes tertulis. Demikian pula ketika menyangkut ujian kelulusan, dalam hal ini UAN, mereka perlu adanya dispensasi dengan memiliki standart khusus. Menyangkut masalah UAN ini telah disetujui oleh direktorat pembinaan sekolah luar biasa bahwa anak dengan berkebutuhan khusus tidak perlu mengikuti UAN (Julia Maria, Januari 2008).

Walaupun pada saat ini baru terdapat 624 sekolah Inklusi di seluruh Indonesia, dari tingkat SD hingga SMA tetapi dapat menerima anak berkebutuhan khusus di sekolah biasa dengan program khusus. Artinya mereka dapat mengikuti kelas biasa, namun disisi lain merekapun harus mengikuti program khusus sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas mereka. Mereka dapat mengikuti kurikulum biasa, namun dengan penerapan yang disesuaikan dengan kemampuan mereka.

Pada tanggal 26-29 September tahun 2005 para pakar dan praktisi sekolah inklusi dari 32 negara di dunia berkumpul di Bukittinggi Sumatera Barat untuk mengikuti International Symposium on Inclusion and The Removal Of Barriers To Learning. Dalam pertemuan ini mereka saling berbagi pengalaman mengenai sekolah inklusi di Negara masing-masing. Dan semua masih dalam tahap mengembangkan sekolah inklusi ( Suara Pembaruan : 28/9/2005).

Pendidikkan inklusi memang tengah bergerak progresif, namun masih banyak ditemukan kendala untuk melaksanakannya. Dari fasilitas yang terbatas, misalnya fasilitas program khusus, seperti ruang terapi, alat terapi, maupun sumber daya manusia yang kapabel. Sekolah inklusi adalah sebuah metamorfosa budaya manusia yang semakin moderen dan menglobal. Bahwa setiap manusia adalah sama, punya hak yang sama dan kesempatan yang sama untuk berkembang dan mendapatkan pendidikan demi mengejar kehidupannya yang lebih baik.Sekolah inklusi merupakan salah satu jawaban, bahwa pendidikan tak mengenal diskriminasi, semua berhak untuk mendapatkannya. Perlu juga dilakukan edukasi kepada masyarakat tentang sekolah inklusi sehingga mereka memperoleh banyak informasi sebagai alternative pilihan untuk menyekolahkan anaknya yang kebetulan berkebutuhan khusus.
Meskipun demikian sampai saat ini, sekolah inklusi masih identik dengan mencampur anak berkebutuhan khusus dengan anak biasa. Padahal sekolah bisa disebut inklusi, jika kita dapat melihat anak secara individual dengan pendekatan individual, bukan klasikal. Saat ini, pendidikan kita masih melihat peserta didik dengan satu kaca mata, semua anak adalah sama. Padahal, setiap anak terlahir dengan fitrahnya masing - masing. Artinya, setiap anak harus diberi ruang dan hak untuk berkembang sesuai dengan kapasitas dan bakat yang dibawanya. Sekolah inklusipun bisa bersesuaian dengan pendekatan kecerdasan majemuk (multiple intelegences). Sebuah pendekatan pembelajaran yang sedang banyak dikembangkan pula.

 Harapanya akan banyak tumbuh sekolah inklusi tanpa harus terbebani dengan segala defenisinya. Sekolah inklusi merupakan sebuah prinsip persamaan hak manusia, dan juga jawaban dari perbedaan kita sebagai manusia. Nyatanya tak ada manusia yang sama. Karena semua warga negara mempunyai hak yang sama terhadap pendidikan, termasuk di dalamnya adalah anak berkebutuhan khusus. Demikian salah satu inti yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 31. Di Muhammadiyah sendiripun sudah ada beberapa sekolah yang menerapkan system  inklusi tentunya diperlukan dukungan dari semua pihak untuk mengembangkannya lebih optimal sebagai upaya memberikan solusi kepada masalah pendidikan di Indonesia.

Tentang Pendidikan Inklusif ( part 3 )

Lahirnya Pendidikan Inklusif



Sebelum munculnya pemikiran tentang pendidikan inklusif, setidaknya dilatarbelakangi adanya sejumlah orang yang terpinggirkan atau ditolak sehingga tidak dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan. Faktor utama yang menyebabkan mereka terpinggirkan/tertolak adalah faktor pendidikan (UNESCO, 1990) sehingga pendidikan menjadi isu utama untuk mengatasi masalah ini. Jika kita mengacu pada data International Consultative Forum on Education for All (2000) di dunia ini terdapat 113 juta orang anak-anak usia pendidikan dasar yang tidak sekolah. 90% dari jumlah itu berada di negara yang penghasilannya rendah hingga menengah serta lebih dari 80 juta orang anak-anak seperti itu tinggal di negara-negara Afrika. Kalaupun ada yang mampu sekolah, sebagian dari mereka drop out/putus sekolah padahal pendidikannya belum selesai.

Selain data tersebut di atas, ada pula data yang menyebutkan bahwa ada sekelompok orang karena perbedaan gender menyebabkan orang itu tidak dapat sekolah, misalnya di Afghanistan, ada budaya yang melarang kaum perempuan untuk bersekolah dan keluar rumah, kalaupun bisa sekolah dan keluar rumah sangatlah terbatas. Masih banyak data lain yang menyebutkan persoalan mengapa seseorang atau sejumlah orang tidak dapat menikamti haknya untuk memperoleh pendidikan, diantaranya karena masalah geografis, kondisi peperangan, bencana alam, dan lain-lain. Kondisi itu tentunya sangat memprihatinkan karena mereka akan menjadi orang yang termarginalkan dan tertolak oleh masyarakat.

Itu semua ternyata menjadi permasalahan disetiap negara, bahkan di negara yang dikatakan sebagai negara maju sekalipun, hanya saja di negara maju jumlahnya lebih sedikit dibandingkan negara “miskin” dan berkembang. Jadi hampir di seluruh dunia memiliki persoalan yang sama, bagaimana semua warganya dapat mengakses atau memperoleh pendidikan, ternyata pendidikan itu adalah hak setiap warga negara, sehingga tidak ada lagi sejumlah orang yang terpinggirkan (kaum marginal) dan tertolak dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya serta pendidikan. Semua negara memprihatinkan itu semua.

Berdasarkan itu maka negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencoba mencari solusinya. Mereka, melalui lembaga di bawah naungan PBB, yaitu UNESCO, mengusulkan untuk mengadakan suatu konfrensi internasional. Usulan itu diterima oleh PBB karena tidak bertentangan dengan Deklarasi tentang Hak Azasi Manusia (1948) dan konvensi Hak Anak (1989). Konfrensi pun terlaksana pada tahun 1990 di Thailand dengan nama The Jomitien World Conference on Education for All, diikuti oleh hampir seluruh negara anggota PBB, beberapa organisasi di bawah naungan PBB (UNESCO, UNICEF, WHO, dll) serta Lembaga Swadaya Masyarakta (LSM) nasional dan internasional. Di dalam konfrensi itu, mereka berupaya serius mencari solusi. Dalam konfrensi ini lah munculnya konsep pendidikan untuk semua.

Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa konferensi tersebut dilandasi oleh Deklarasi tentang Hak Azasi Manusia (PBB 1948) (yang menyatakan tentang hak pendidikan dan partisipasi penuh bagi semua orang) dan Konvensi Hak Anak (1989) , itulah dokumen internasional pertama yang menjadi rujukan hukum munculnya pemikiran pendidikan inklusif dikemudian hari. Selanjutnya, UU dan dokumen hasil konfrensi tersebut terus digunakan untuk menjadi landasan dalam memecahkan masalah marginalisasi itu.

Hasil dari konfrensi diantarnya menyatakan bahwa: (1) memberi kesempatan kepada semua anak untuk sekolah, dan (2) memberikan pendidikan yang sesuai bagi semua anak. Dalam kenyataannya hasil konfrensi belum termasuk di dalamnya anak-anak berkebutuhan khusus.

Mengingat hasil konfrensi itu, memunculkan pemikiran kritis dari organisasi penyandang cacat dan anak berkebutuhan khusus serta didukung oleh beberapa negara. Kemudian mereka membuat suatu konfrensi dengan landasan konfrensi sebelumnya ditambah dengan Peraturan Standar tentang KEsamaan KEsempatan untuk Orang-Orang Penyandang Cacat (PBB, 1993). Konfrendii ini dinamai The Salamanca World Conference on Special Needs Education (UNESCO, 1994). Dari konfrensi inilah muncul prinsip-prinsi dan konsep dasar dari pendidikan inklusif, yang selanjutnya dikenal dengan pernyataan Salamanca tentang pendidikan inklusif.

Untuk mengukuhkan pernyataan dan konsep pendidikan inklusif yang dihasilkan di Salamanca dan diharapkan menjadi konsep milik bersama maka PBB melalui UNESCO menyelenggarakan konfrensi pendidikan untuk semua (PUS) kedua di Dakar tahun 2000. Dari Konfrensi PUS kedua ini lah mulai muncul kerangka aksi pelaksanaan pendidikan inklusif yang dibagi berdasarkan wilayah/region. Contohnya, pada bulan oktober 2002 kelompok kerja Asia Pasifik meluncurkan Aksi Biwako Millenium Framework (BMF) sebagai kerangka kerja regional untuk panduan negara-negara di Asia Timur dan Pasifik yang dalam pelaksanaannya diperluas menjadi Asia Pasifik untuk sepuluh tahun yang akan datang.

Tentang Sekolah Inklusif ( Part 2 )

Berita Pendidikan

Sarana Pendidikan: Sekolah Inklusi Minim Fasilitas

Sekolah-sekolah inklusi umumnya belum dilengkapi fasilitas peraga yang memadai untuk siswa berkebutuhan khusus. Guru-guru yang mengajar siswa berkebutuhan khusus juga belum dipersiapkan, kecuali beberapa guru dari sekolah luar biasa yang diperbantukan.

Hal ini terungkap dalam kunjungan Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh ke sejumlah sekolah inklusi di Surabaya, Jawa Timur, Senin (16/11). Saat ini di Indonesia terdapat sekitar 1.450 sekolah luar biasa (SLB) dan hanya 400 yang negeri. Selain itu, sebanyak 800 sekolah sudah menjadi sekolah inklusi.

Mendiknas sempat meninjau SD Negeri Klampis Ngasem, Surabaya. Dari 639 siswa SDN Klampis Ngasem, sebanyak 165 siswa di antaranya berkebutuhan khusus. Siswa berkebutuhan khusus terbanyak adalah yang berkategori lambat berpikir (slow learner), autis, tunarungu, dan hiperaktif. Selain itu, terdapat seorang siswa tunanetra dan empat siswa tunadaksa.

Di SDN Klampis Ngasem, dari 40 guru, hanya delapan yang berstatus pegawai negeri sipil. Sebagian besar guru pendamping siswa difabel berstatus honorer yang honornya dibebankan kepada orangtua siswa. Adapun di SD Negeri Kutisari II Surabaya belum ada guru yang khusus dibekali untuk mengajar siswa difabel. Mendiknas juga sempat meninjau SLB Karya Mulia.

Koordinator Inklusi SDN Klampis Ngasem Dadang Bagus menambahkan, kendati sekolah ini menerima siswa dari semua jenis cacat, fasilitasnya tidak ada. Alat untuk terapi, alat bantu dengar, peraga, dan bahan ajar berhuruf braille belum ada, demikian pula kurikulum dan metode ajar. Karena itu, semua diadaptasi dari kurikulum yang ada.

BOS dinaikkan

Seusai kunjungan tersebut, Mendiknas menjanjikan akan menaikkan jatah bantuan operasional sekolah (BOS) untuk siswa berkebutuhan khusus.

Pemerhati masalah difabel, Bahrul Fuad, menilai, saat ini pendidikan inklusi yang sudah dimulai sejak 2007 masih sebatas pelaksanaan proyek. Oleh karena itu, persiapan untuk menerima siswa berkebutuhan khusus oleh sekolah, guru, ataupun siswa lain sangat minim.

Menurut Bahrul, guru-guru dan siswa perlu dikondisikan sebelum pendidikan inklusi diterapkan. Siswa, misalnya, perlu mengetahui cara melihat teman-temannya yang tunanetra dan cara berkomunikasi dengan teman yang tunarungu. Ruang kelas, akses sekolah, ataupun peralatan belajar-mengajar juga perlu disiapkan. Pelatihan untuk guru-guru sangat diperlukan, misalnya, melalui kerja sama dengan SLB.

Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Suwanto mengatakan, di Jatim terdapat 388 SLB dengan jumlah siswa 13.159 orang. Selain itu, terdapat 93 sekolah inklusi dengan siswa berkebutuhan khusus 1.476 anak.

Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Surabaya Eko Prasetyoningsih mengatakan, pelatihan untuk guru-guru di sekolah inklusi dimulai pada 2010. Pelatihan ini akan melibatkan pakar pendidikan luar biasa dan aktivis difabel. (INA)

Sumber: Kompas Cetak (kompas.com)

Tentang Sekolah Inklusif ( Part 1 )

Pendidikan Inklusif

Menurut Sapon-Shevin dalam O’Neil 1994 pendidikan inklusif adalah suatu sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan kepada anak yang berkebutuhan khusus untuk belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman yang seusianya.

Sekolah inklusif merupakan sebuah perkembangan terbaru dari pendidikan terpadu. Di sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua itu diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi atau penyesuaian, sarana dan prasarana, mulai dari kurikulum, tenaga pendidikan dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai dengan sistem penilaiannya. Sekolah ini menyediakan berbagai program pendidikan yang layak dan menantang, tetapi tetap disesuaikan pula dengan kemampuan dan kebutuhan dari setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak tersebut berhasil.

Alasan penerapan pendidikan inklusif ini ialah :

1. Sebab semua anak mempunyai hak sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan tidak
didiskriminasi.

2. Hak setiap anak untuk dapat mengikuti pelajaran tanpa harus memandang kecacatan dan kelainan seorang anak.

3. Perbedaan harus dijadikan sebagai penguat untuk meningkatkan mutu pembelajaran semua anak.

4. Sekolah dan guru harus dapat belajar merespon dari kebutuhan pembelajaran yang berbeda.

Pendidikan inklusif tersebut kini telah menjadi perhatian masyarakat di dunia. Beberapa pertemuan internasional pernah membahas tentang pendidikan inklusif sebagai pergerakan menuju pendidikan yang berkualitas untuk semua anak. Pergerakan menuju pendidikan inklusif di Indonesia mempunyai landasan hukum dan landasan konseptual, berikut penjelasannya:

1. Deklarasi Hak Asasi Manusia Tahun 1948

2. Konveksi Hak Anak Tahun 1989

3. Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua Tahun 1990

4. Persamaan Kesempatan bagi orang berkelainan Tahun 1993

5. Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi Tahun 1994

6. Komitmen Dasar mengenai Pendidikan untuk semua Tahun 2000

7. Deklarasi Bandung Tahun 2004

Harapan dari pendidikan inklusif adalah dapat membangun rasa sadar dan menghilangkan sikap atau nilai diskriminatif pada anak. Pendidikan inklusif juga melibatkan dan memberdayakan masyarakat supaya ikut serta dalam menganalisis situasi pendidikan lokal, dengan cara mengumpulkan informasi tentang anak pada suatu wilayah untuk mengetahui alasan mereka kenapa tidak sekolah.

Bye - Bye My Best Friendships

            Cukup Lama yah kagak nulis blog saya. Saya mau sedikit cerita, ya. One month kemudian, tepat tanggal 15 Juli 2013, Saatnya saya MOS pertama di SMA ACM tahun ajaran 2013 - 2014. Tapi, lagaknya saya kagak ngelihat ke 2 teman saya. Rasanya, yah...jadi galau mendadak. Tapi, saya cukup hepi saat bersama kedua teman dekat saya semasa SMP. Mulai dari MOS awal SMP, sampai farewell tahun ini. Hmm...saya ingat waktu jamannya MOS SMP tahun ajaran 2010 - 2011, Saya dikenalin oleh wali kelas saya ke salah satu teman saya, Aniel. Awalnya agak belum dekat karena belum kenal dan masih harus beradaptasi. Setelah itu dan seterusnya, saya mulai ngobrol sama Aniel. Kalo teman dekat saya yang satu ini nih, Hanna emang udah dekat dari SD. Pas kelas 1 SD sekelas, lalu kelas 2, kelad 3, kelas 4, itu pun kagak sekelas. Baru pas kelas 5 dan kelas 6 saya sekelas dengannya. Ada satu pengalaman, waktu masih SD, waduh! Hanna, teman dekat saya kagak dibolehin ngegambar ama anak - anak cewek di SD. Lalu, saya ngebela demi teman dekat saya, juga cita - cita teman dekat saya yakni jadi komikus. Kemudian hubungan Saya dengan teman yang lain jadi terpecah belah. Tapi saya senang bisa dekat dengannya. Saya jadi ada teman yang nemenin meski cuma satu orang. Tapi di SMP, teman dekat pun bertambah jadi 2. Yah...saya menikmati masa - masa indah itu semasa SMP. Mulai dari ngobrol, bantuin ngasih ide cerita, ngebantuin untuk jadi ilustrator dalam cerita, hingga jajan dan ngumpul bareng. Ha...ha...tapi itu udah berlalu. Kenangan manis pun pasti kagak saya lupain. Pasti akan terbawa - bawa hingga udah lebih gede lagi. Bahkan pas itu, Ada yang bilang "Div, kalo aku kawin, ntar deh aku undang kamu, Hanna, sama yang lain kalo udah gede."
Saya janji, saya kagak bakalan lupain lu berdua. Bye - bye my best friendships. Kiss n Hugs.





Foto terakhir dan yang paling terakhir bersama mereka